Wednesday 28 May 2014

Homo Sapiens.


               Fosil jenis Homo ini pertama diteliti oleh von Reitschoten di Wajak. Penelitian dilanjutkan oleh Eugene Dubois bersama kawan-kawan dan menyimpulkan sebagai jenis Homo. Ciri-ciri jenis manusia Homo ini muka lebar, hidung, dan mulutnya menonjol. Dahi juga masih menonjol, sekalipun tidak semenonjol jenis Pithecanthropus. Bentuk fisiknya tidak jauh berbeda dengan manusia sekarang. Hidup dan perkembangan jenis manusia purba ini sekitar 40.000 – 25.000 tahun yang lalu. Tempat-tempat penyebarannya tidak hanya di kepulauan Indonesia tetapi juga di Filipina dan Cina Selatan.
                Homo Sapiens artinya ‘manusia sempurna’ baik dari segi fisik, volume otak maupun postur badannya yang secara umum tidak jauh berbeda dengan manusia modern. Kadang-kadang Homo Sapiens juga diartikan dengan ‘manusia bijak’ karena telah lebih maju dalam berfikir dan menyiasati tantangan alam. Bagaimanakah mereka muncul ke bumi pertamakali dan kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru dunia hingga saat ini? Para ahli Paleoanthopologi dapat melukiskan perbedaan morfologis antara Homo Sapiens dengan pendahulunya, Homo erectus. Rangka Homo Sapiens kurang kekar posturnya dibandingkan Homo erectus. Salah satu alasannya karena tulang belulangnnya tidak setebal dan tidak sekompak Homo erectus.
                Hal ini mengindikasikan bahwa secara fisik Homo Sapiens jauh lemah dibanding sang pendahulu tersebut. Di lain pihak, ciri-ciri morfologis maupun biometriks Homo Sapiens menunjukan karakter yang lebih berevolusi dan lebih modern dibandingkan dengan Homo erectus. Sebagai contoh, karakter evolutif yang paling signifikan adalah bertambahnya kapasitas otak. Homo Sapiens mempunyai kapasitas otak yang jauh lebih besar (rata-rata 1.400 cc), dengan atap tengkorak yang jauh lebih bundar dan lebih tinggi dibandingkan dengan Homo erectus yang mempunyai tengkorak panjang dan rendah, dengan kapasitas otak 1.000 cc.
                Segi-segi morfologi dan tingkatan kepurbaannya menunjukan ada perbedaan yang sangat nyata antara kedua spesies dalam genus Homo tersebut. Homo Sapiens akhirnya tampil sebagai spesies yang sangat tangguh dalam beradaptasi dengan lingkungannya, dan dengan cepat menghuni berbagai permukaan dunia ini.

                Berdasarkan bukti-bukti penemuan, sejauh ini manusia modern awal dikepulauan Indonesia dan Asia tenggara paling tidak telah hadir sejak 45.000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, kehidupan manusia modern ini dapat dikelompokkan dalam 3 tahap, yaitu (i) kehidupan manusia modern awal yang kehadirannya hingga akhir zaman es (sekitar 12.000 tahun yang lalu), kamudian dilanjutkan oleh (ii) kehidupan manusia modern yang lebih belakangan, dan berdasarkan karakter fisiknya dikenal sebagai ras Austromelanesoid. (iii) mulai disekitar 4.000 tahun lalu muncul penghuni baru di Kepulauan Indonesia yang dikenal sebagai penutur bahasa Austronesia. Berdasarkan karakter fisiknya, makhluk manusia ini tergolong dalam ras Mongoloid. Ras inilah yang kemudian berkembang hingga menjadi bangsa Indonesia sekarang.
Meganthropus.



                Jenis manusia purba ini terutama berdasarkan penelitian von Koenigswald di Sangiran tahun 1936 dan 1941 yang menemukan fosil rahang manusia yang berukuran besar. Dari hasil rekonstruksi ini kemudian para ahli menamakan jenis manusia ini dengan sebutan Meganthropus Paleojavanicus, artinya manusia raksasa dari Jawa. Jenis manusia purba ini memiliki ciri rahang yang kuat dan badannya tegap. Diperkirakan makanan jenis manusia ini adalah tumbuh-tumbuhan. Masa hidupnya diperkirakan pada zaman Pleistosen awal.
Pithecanthropus (Trinil, Ngawi, jawa Timur).

                Trinil adalah sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah administrasi Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tinggalan purbakala telah lebih dulu ditemukan di daerah ini jauh sebelum von Koenigswald menemukan Sangiran pada 1934. Ekskavasi  yang dilakukan oleh Eugene Dubois di Trinil telah membawa penemuan sisa-sisa manusia purba yang sangat berharga bagi dunia pengetahuan. Penggalian Dubois dilakukan pada endapan aluvial Bengawan Solo. Dari lapisan ini ditemukan atap tengkorak Pithecanthropus Erectus, dan beberapa tulang paha (utuh dan fragmen) yang menunjukan pemiliknya telah berjalan tegak.
                Jenis manusia ini didasarkan pada penelitian Eugene Dubois tahun 1890 di dekat Trinil, sebauh desa di pinggiran Bengawan Solo, di wilayah Ngawi. Setelah direkonstruksi terbentuk kerangka manusia, tetapi masih terlihat tanda-tanda kera. Oleh karena itu, jenis ini dinamakan Pithecanthropus Erectus, artinya manusia kera yang berjalan tegak. Jenis ini juga ditemukan di Mojokerto, sehingga disebut Pithecanthropus Mojokertensis. Jenis manusia purba yang juga terkenal sebagai rumpun Homo Erectus ini paling banyak ditemukan di Indonesia. Diperkirakan jenis manusia purba ini hidup dan berkembang sekitar zaman Pleistosen tengah.

                Tengkorak Pithecanthropus erectus dari Trinil sangat pendek tetapi memanjang ke belakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, di antara otak kera (600 cc) dan otak manusia modern (1.200 cc -1.400 cc). Tulang kening sangat menonjol dan dibagian belakang mata terdapat penyempitan yang sangat jelas, menandakan otak yang belum berkembang. Pada bagian belakang kepala terlihat bentuk yang meruncing yang diduga pemiliknya merupakan perempuan. Berdasarkan kaburnya sambungan perekatan antara tulang kepala, ditafsirkan individu ini telah mencapai usia dewasa. Selain tempat-tempat diatas, peninggalan manusia purba tipe ini juga ditemukan di Perning, Mojokerto, Jawa Timur; Ngandong, Blora, Jawa Tengah; Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah.
Homo Erectus (Sangiran).
               
               Perjalanan kisah perkembangan manusia di dunia tidak dapat kita lepaskan dari keberadaan bentangan luas perbukitan tandus yang berada di perbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar. Lahan itu di kenal dengan nama Situs Sangiran. Di dalam buku Harry Widianto dan Truman Simanjuntak, Sangiran Menjawab Dunia diterangkan bahwa Sangiran merupakan sebuah kompleks situs manusia purba dari Kala Pleistosen yang paling lengkap dan paling penting di Indonesia, dan bahkan di Asia. Lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan manusia dunia, yang memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia sejak 150.000 tahun yang lalu. Situs Sangiran itu mempunyai luas delapan kilometer pada arah utara-selatan dan tujuh kilometer arah timur-barat. Situs Sangiran merupakan suatu kubah raksasa yang berupa cekungan besar dipusat kubah akibat adanya erosi dibagian puncaknya. Kubah raksasa itu diwarnai dengan perbukitan yang bergelombang. Kondisi deformasi geologis itu menyebabkan tersingkapnya berbagai lapisan batu yang mengandung fosil-fosil manusia purba dan binatang, termasuk artefak. Berdasarkan materi tanahnya, Situs Sangiran berupa endapan lempung hitam dan pasir fluvio-volkanik, tanahnya tidak subur dan terkesan gersang pada musim kemarau.
                Sangiran pertama kali ditemukan oleh P.E.C Schemulling tahun 1864, dengan laporan penemuan fosil vertebrata dari Kalioso, bagian dari wilayah Sangiran. Semenjak dilaporkan Schemulling situs itu seolah-olah terlupakan dalam waktu yang lama. Eugene Dubois juga pernah datang ke Sangiran, akan tetapi ia kurang tertarik dengan temuan-temuan di wilayah Sangiran. Pada 1934, G.H.R Von Koenigswald menemukan artefak litik diwilayah Ngebung yang terletak sekitar dua kilometer di barat laut kubah Sangiran. Artefak litik itulah yang kemudian menjadi temuan penting bagi Situs Sangiran. Semenjak penemuan von Koenigswald, Situs Sangiran menjadi sangat terkenal berkaitan dengan penemuan-penemuan fosil Homo Erectus secara sporadis dan berkesinambungan. Homo Erectus adalah takson paling penting dalam sejarah manusia, sebelum masuk pada tahapan manusia Homo Sapiens, manusia modern.

                Situs Sangiran tidak hanya memberikan gambaran tentang evolusi fisik manusia saja, akan tetapi juga memberikan gambaran nyata tentang evolusi budaya, binatang, dan juga lingkungan. Beberapa fosil yang ditemukan dalam seri geologis-stratigrafis yang diendapkan tanpa terputus selama lebih dari dua juta tahun, menunjukan tentang hal itu. Situs Sangiran telah diakui sebagai salah satu pusat evolusi manusia dunia. Situs itu ditetapkan secara resmi sebagai Warisan Dunia pada 1996, yang tercantum dalam nomor 593 Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) UNESCO.